Quote from: PictureQuote.com |
Winter in Melbourne .Courtesy of Irma. |
Passions and Creations
Quote from: PictureQuote.com |
Winter in Melbourne .Courtesy of Irma. |
Source: google image |
Tugas ke-3 dari Kak Irai di kelas WhatsApp Group "Nulis dan Ngeblog Itu Asyik" adalah belajar mengulas buku yang dibaca. Tugas tersebut sebenarnya sudah jatuh tempo sejak Selasa lalu. Namun aku belum sempat membuatnya. Bukan karena malas atau tidak suka mengerjakannya, namun awal minggu adalah hari-hari yang begitu padat dengan rutinitas yang tidak bisa aku hindari sama sekali. Maafkan diriku ya Kak Irai🙏
Walau sudah lewat waktu biarlah aku mencoba untuk menyelesaikannya. Aku tahu terlambat menyetor tugas berarti nilai merah yang aku dapat. Tak apa bagiku daripada tidak menghasilkan sesuatu apapun.
Buku yang sedang aku ulas ini berjudul The Family With Two Front Doors. Ditulis oleh seorang penulis dan ilustrator berkebangsaan Australia, lahir di Melbourne pada Januari 1957, Anna Ciddor namanya.
Cerita dalam buku ini berdasarkan cerita nyata masa kecil neneknya yang bernama Nomi Rabinovitch yang juga merupakan salah satu tokoh dalam cerita buku ini. Nama-nama tokoh lain dalam satu keluarga dan juga peristiwa yang terjadi pun adalah asli dalam kehidupan nyata mereka.
Bangunan rumah, gerbang besi hitam, pasar buah yang diceritakan di buku ini semua nyata. Sebelum cerita ini dirilis, Anna Ciddor memang melakukan research ke Lublin dan menemukan semua elemen penting sesuai yang diinformasikan neneknya. Sangat menarik sekali!
Di bawah ini ada beberapa foto nyata keluarga Rabinovitch yang aku ambil dari website Anna Ciddor.
Ilustrasi Anna Ciddor: keluarga Rabinovitch |
Tokoh #3: Aaron, 17 tahun, anak lelaki sulung dan menikah dengan Yochevet.
Tokoh #4: Adina, anak perempuan tertua, menikah dengan cara dijodohkan pada usia 15 tahun dengan Mordechai Weinberg seorang calon rabbi dari Warsawa.
Tokoh #5: Miriam, 14 tahun. Perawakannya lebih tinggi daripada kakaknya Adina.
Tokoh #6: Shlomo, 12 tahun, berkulit putih dan kurus, rajin membaca kitab suci setiap harinya. Tak heran dia ingin menjadi seorang rabbi pada masa depan.
Tokoh #7: Esther, 11 tahun. Selalu mendapat bagian untuk mengasuh adiknya bayi Bluma.
Tokoh #8: Nomi, 10 tahun, berhasil memasak Gefilte Fish dengan sempurna untuk disajikan pada ritual Shabbat.
Tokoh #9: Yakov, 8 tahun. Anak ini selalu rajin membantu ibu dan kakak-kakaknya dan selalu meniru di belakang ayahnya ketika melakukan ibadah.
Tokoh #10: Devorah, 4 tahun. Yang selalu mendapat tugas menyiapkan kotak sedekah pada ritual Shabbat. Perhatiannya hanya tertuju kepada makanan seperti bagel, permen dan coklat.
Tokoh #11: bayi Bluma. Belum bisa berbuat banyak selain duduk di high chair sambil memakan toasted bagel yang sudah basah, hancur dan lembek serta menjatuhkannya ke lantai😁
Source: Anna Ciddor's website |
Cerita ini berkisah di era tahun 1920-an sebelum Perang Dunia II. Mereka tinggal di rumah susun pada lantai 2, di Jl.Lubartowska no.30 Kota Lublin, Polandia. Kota yang merupakan Jewish quarter yaitu daerah tradisional pemukiman yang dihuni oleh orang-orang Yahudi yang berkeyakinan sama.
Cerita ini benar-benar menarik. Didalamnya saya turut merasakan ada kehangatan dan sukacita keluarga. Belum lagi ikatan komunikasi yang kuat antar anak dan orangtua. Digambarkan pula tentang kedisiplinan anak-anak dalam mengerjakan tugas-tugas yang diperintahkan oleh orangtua mereka termasuk ritual beribadah. Tentu saja aspek lain seperti kepatuhan, cara bertatakrama kepada orang tua dan kakak-beradik sangat jelas dalam cerita ini.
Namun pada masa itu juga diceritakan perjodohan, pernikahan gadis belia (tokoh Adina) tanpa masa berpacaran yang menikah dengan seseorang yang belum dikenalnya. Ada pula aturan berpakaian bagi anak laki-laki dan perempuan yang sudah akil baligh, ketidaksetaraan gender dengan membedakan tugas dan tanggungjawab. Setiap karakter dari kehidupan sehari-hari 9 orang anak tersebut diceritakan dengan penuh warna dan tingkah polah yang berbeda.
Tokoh papa yang bernama Rabinovitch adalah seorang rabbi (pendeta Yahudi) pada sebuah rumah ibadah kecil. Dia sangat berwibawa pada keluarganya maupun para murid-muridnya dan sangat terkenal di kota itu.
Meja makan baginya adalah merupakan tempat diskusi dengan semua anak-anaknya. Dimana dia akan menanyakan kepada anak lelakinya apa yang sudah dipelajari dan dipahami dalam kitab suci Torah. Dia akan selalu membawa anak lelakinya beribadah bersama.
Untuk anak perempuannya dia akan bertanya apa saja yang sudah dikerjakan oleh mereka sepanjang hari. Sering pula dia mencicipi dan memberi apresiasi tentang masakan yang mereka buat.
Begitu hormatnya kepada ayah mereka sampai tidak ada satupun anggota keluarga yang memulai bersantap makan malam kalau belum sang ayah pulang dari rumah ibadah. Untuk yang satu ini aku teringat masa kecilku bagaimana beretika saat makan malam bersama seluruh anggota keluarga.
Istrinya Ibu Rabinovitch hanya seorang ibu rumah tangga yang memiliki bisnis salon khusus untuk wanita. Dia sangat berkarakter sebagai ibu yang tegas dan konsisten dalam mendidik anak-anaknya. Terutama kepada 5 anak perempuan yang sudah besar. Dia akan mendelegasikan pekerjaan memasak, membuat roti (wajib bisa) dan mengasuh anaknya yang terkecil kepada mereka.
Terutama pada hari Jumat malam dimana ritual ibadah Shabbat dilakukan. Maka pada hari Jumat pagi dia akan berbelanja besar ke pasar ditemani dengan 8 orang anaknya ( satu anak lelakinya sudah menikah dan hidup terpisah rumah). Mereka akan berpencar dan masing-masing sudah memegang catatan belanja apa saja yang harus mereka beli.
Pada hari Jumat selepas dari pasar mereka akan berbagi tugas. Ada yang memasak, ada yang menyiapkan meja makan, membersihkan rumah, mengantar roti challah mentah ke tempat oven pemanggangan roti dan itu semua harus sudah selesai sebelum matahari terbenam.
Masakan yang dimasak pun sangat banyak dan harus cukup sampai hari Sabtu. Mengapa demikian? Bagi pemeluk agama Yahudi hari Sabtu adalah hari libur, hari keluarga dimana mereka tidak boleh bekerja, tidak berkendaraan, tidak menyalakan handphone dan juga api. Hari yang benar-benar fokus untuk keluarga.
Cholent (semur daging sapi, kentang dan kacang barley) Sumber: Pinterest |
Masakan yang dimasak untuk ritual Shabbat biasanya terdiri dari masakan seafood, poultry, daging sapi, salad sayuran, couscous. Tidak ketinggalan yang utama adalah roti. Saya pribadi sangat familiar dengan semua masakan Jewish tersebut seperti Gefilte fish, cholent (seperti semur daging), ayam panggang dan sayuran juga roti challah dan roti bagel. Semuanya lezat dan saya pun sering mengkonsumsinya.
Salmon Avocado bagel Foto milik pribadi |
Gefilte fish, challah dan bagel banyak dijual di supermarket di Melbourne dan produk-produk itu akan didisplay terpisah di bagian Kosher.
Roti Challah Sumber: Pinterest |
Ikan yang bagian dagingnya dicincang dan dibumbui lalu dimasak dengan saus khusus. Selalu disajikan dengan acar lobak merah. Yummy! Sumber: Pinterest |
Beberapa cerita dalam buku ini mengingatkan masa kecil saya akan arti kesederhanaan, harga diri sebagai individu dan menjaga martabat keluarga walaupun budaya dan keyakinan saya berbeda dengan cerita dalam buku ini.
Namun jujur saat menulis ulasan buku ini saya hanya teringat Rachel, wanita Yahudi salah satu teman baik saya yang sekarang sudah pindah ke Texas, US. Dia yang memperkenalkan saya secara detail tentang budaya kehidupan orang Yahudi di Australia. Teringat cara dia mengajarkan anaknya yang berumur 8 dan 5 tahun bagaimana membentuk braids pada adonan roti challah, seperti metoda mengepang rambut.
Belum lagi di suburban tempat saya tinggal saat ini terdapat komunitas besar Jewish, tentu banyak ditemukan juga sekolah-sekolah khusus Jewish dan sinagog mereka. Dan melihat mereka berjalan dengan pakaian khusus menuju rumah ibadah mereka. Saya menikmati sekali atmosfir yang berbeda setiap akhir pekan.
Buku ini adalah buku novel anak. Namun saya menilainya bagus untuk dibaca setiap orang, baik yang berbeda budaya serta keyakinan. Bagaimana menurut teman-teman?